Pic diambil dr kathys comments

Oleh Aling (Cerpen Fiksi)

Waktu berputar begitu cepat. Hampir 2 bulan, aku mengenal Erick. Salah satu mahasiwa teladan di kampusku. Erick adalah seorang  kakak tingkatku yang menjadi idola mahasiswi. Namanya selalu hangat jadi pembicaraan. Pertama kali kumelihatnya, saat peloncoan mahasiwa-mahasiswi baru.

“Aduh! Aku suka lihat tampangnya, benar-benar keren,” celoteh seorang mahasiswi di kantin tanpa malu-malu.

Perkenalanku dengan Erick, karena sebuah tabrakan di kantin. Hari itu saya  baru selesai memesan makanan dan dia ngak tahu knapa sedang buru-buru. Tabrakan itu menumpahkan, semua makanan di tanganku.

“ups! Sorry,” ujarnya tampak sangat terkejut.

“Ngak, apa-apa!” ungkapku seraya menepis-nepis makanan yang menodai bajuku.

Kemudian dia memesan kembali 2 porsi, makanan yang sama , dan kami memilih kursi di sudut kantin. Sambil menikmati makanan, kami mulai berbincang, saling memperkenalkan diri, berbincang topik apa saja. Kami berbincang beberapa saat, lalu berpisah untuk mengikuti mata kuliah kami masing-masing. Perbincangan yang sangat akrab seperti dua sahabat lama.

Sejak kejadian itu, banyak omongan-omongan yang sirik beredar di kampus. Tatapan sinis dari beberapa mahasiswi membuat aku kadang merasa salah tingkah. Tak kumengerti apa arti tatapan mereka dan apa salahku kepada mereka.Tapi akhirnya aku cuekin, aza semua ulah mereka, toh saya dan Erick ngak ada apa-apa. Walau jujur dalam hatiku ada kebanggaan tersendiri bisa dekat dengan idola anak kampus.

Erick membantuku banyak hal, baik hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan kampus ataupun hal di luar kampus. Itulah yang membuat aku makin dekat dengannya.

Erick memang kakak tingkatku  yang paling baik dan paling pengertian denganku. Bukan hanya wajah baby facenya yang membuat siapapun merasa gemas, dia sangat baik, berotak encer, apalagi… sinar teduh matanya membuat banyak wanita tergila-gila padanya.

“uh, aku sebel dengan mereka!” gumannya suatu hari.

“knapa?” tanyaku membelalakan mata.

“Mereka kayak orang kurang kerjaan, hanya bisa membicarakan orang saja,” Erik medengus kesal.

Baru kutahu maksud Erick, kalau mereka akhir-akhir ini sering mengunjing tentang kedekatanku dengan Erick.

“Lah biarin aza. Lama-lama mereka akan bosan sendiri,” jelasku sambil memberi sehelai tisu karena kulihat keringat mengalir dari keningnya.

“Tapi aku takut, karena omongan-omongan itu kamu menjauhiku,” ujarnya memberi alasan.

“Aku!” tanyaku sambil menunjukkan jari telunjukku ke dada.

“Iya,” jawabnya pendek.

“Aku tetap begini, ngak akan berubah gara-gara celoteh kecil mereka,” jelasku sembari tersenyum.

###

Suatu hari Erick mengajakku ke rumahnya. Sudah sering dia ingin mengajakku kerumahnya, tapi kutolak dengan halus. Kali ini kuturuti permintaannya, untuk menepati janjiku. Aku pernah berjanji akan pergi kerumahnya setelah ujian semester usai.

Sesampai di rumahnya, Erick mengambil beberapa kaleng minuman dari kulkas.

Mamanya keluar menyambut kami. Banyak hal yang ditanya mamanya denganku. Kulihat penampilan mamanya begitu berkelas. Dadanannya yang sempurna menutupi garis-garis tua di mukanya. Dia benar-benar nampak anggun dan berwibawa.

“Kamu teman sekampusnya Erick ya?” tanyanya penasaran.

“Iya tante,” jawabku sambil mengganggukan kepala.

“Kamu spesial ya, buat Erick! Erick belum pernah mengajak teman kampusnya main kerumah,” jelasnya terasa kurang senang.

“Aku ngerasa ngak enak juga, dan ngak tahu mesti jawab apa?” hanya sebuah senyuman yang mampu aku suguhkan untuk menutupis rasa grogi yang melanda.

Aku ngak tahu jelas, ada apa di balik semua pertanyaannya yang kurasa agak sinis.

“Erick anak tante satu-satunya, banyak harapan kami tertuang di pundaknya….,” paparnya lalu diam sejenak.

“Kami tidak mau kuliah Erick berantakan gara-gara pacaran. Kami ingin, Erick bisa lulusan dengan nilai terbaik, karena kelak dialah yang akan menjalankan semua bisnis dikeluarga inai. Dan kami telah mempersiapkan seorang gadis yang sederajat dengan kami untuk Erick,” kalimat-kalimat itu mengalir begitu saja dari mulut mama Erick tanpa berpikir apalagi mau memahami apa yang kurasa.

Kulihat Erick turun dari kamarnya yang di lantai dua karena tadi dia pergi minta izin cuci muka dan berganti baju.

Setelah berbincang seadanya, maman Erick pamit ke kamar dan meninggalkan aku dan Erick di ruang tamu, sebelum berlalu matanya memandangku kurang senang.

“Apa sih yang dibilang mamaku?” tanya Erick penasaran.

“Ngak kok! Dia ngak ada tanya yang macam-macam,” jelasku sedikit berbohong karena mulai kulihat kegelisahan dari bola matanya sedangkan  aku harus menahan air mata yang hampir menetes dari pelupuk mataku.

Karena percakapan hari itu, aku mulai menjauhi Erick. Aku ngak ingin gara-gara aku, semua harapan orang tua Erick berantakan. Aku juga ngak ingin rasa cinta di hatiku makin bertambah dan suatu hari sulit untuk aku bendung. Memang sulit rasanya bagiku untuk jauh dari Erick. Dan apakah aku mampu untuk melewati hari-hari tanpanya, aku sendiri tak tahu?

Akhirnya kuputuskan untuk pindah kampus diam-diam di daerah lain. Aku memilih pergi dan meninggalkan Erick demi kebaikannya.

“Lin, kemankah kamu, aku kangen sama kamu!” itulah bunyi sms yang sering kuterima.

Aku ngak pernah balas semua smsnya, semua email yang dikirimnya, karena aku ingin dia mulai melupakanku. Aku ingin dia bisa jadi anak seperti harapan orang tuanya. Aku benar-benar berjuang untuk lari dari apa yang tak ingin aku lakukan. Tapi semua kucoba sekuat mungkin untuk kulakukan, dan kuharap suatu hari Erick mengerti semua ini hanya demi kebaikannya.

“Lin, apa salahku, apa yang telah aku perbuat sehingga kamu pergi tiada kabar?…aku merindukanmu, aku mulai lelah dengan hidupku, dengan aturan-aturan di rumahku. Aku sekarang lebih mirip sebuah robot yang harus menjalankan perintah-perintah mereka,…mereka egois. Lin, aku benar-benar lelah, aku merindukanmu” kubaca sms dari Erick untuk kesekian kali.

Kusimpan semua smsnya. Air mataku mulai mengucur, selebat air hujan yang jatuh di luar sana, langit pun seakan tahu kesedihanku.

“Erick, aku juga mencintaimu, aku juga merindukanmu,” gumanku sambil kugigit bibirku, merasa kesal dengan keadaan.

Aku seakan-akan sudah hampir tak mampu bertahan. Setelah perpisahan ini, baru kusadari ternyata aku benar-benar telah jatuh hati dengannya.

“Lin, ptolong kasih tahu aku, bagaimana kabarmu? kamu baik-baik saja. Itu sudah cukup bagiku. Aku lelah, lelah sekali merindukanmu” kubaca sms yang barusan masuk keponselku.

Aku ngak tahu, mesti bagaimana, mesti menjawab, mesti menelponnya atau mebiarkan semua sms-sms itu seperti biasa.

Tapi aku sudah benar-benar ngak tahan, aku juga ingin sekali mendengar suaranya, mendengar pujian-pujianan.

Kupersetan dengan semuanya. Kuambil ponselku, kuhubungi Erick. Lama ponsel ngak terjawab, akhirnya dijawab seorang wanita, menurut pikiranku itu adalah mamanya.

Kututup ponsel itu, karena takut ketahuan aku masih mencari Erick.

Akhirnya, malah no ponselku yang berdering….dan kulihat nomer Erick disana…membuat aku ragu untuk menjawab dan tidak…karena aku takut yang menelpon adalah mamanya, bukan Erick.

Kubiarkan bunyi panggilan itu…berhenti…berbunyi lagi sampai berulang-ulang.

Akhirnya kuputuskan untuk mengangkatnya dan kudengar suara mama Erick disebarang sana menyapaku.

“Malam, tante, ” ujarku gugup dan takut.

Tiba-tiba, terdengar isak tangis mamanya dari seberang sana, yang membuat aku bingung, apa arti semua ini dan tidak tahu apa yang telah terjadi.

“Maafkan tante ya, Lin! Kuharap kamu mau memaafkan tante dan berkenan pulang untuk menjeguk Erick. Sekarang Erick menjadi sebuah sosok yang berbeda, setelah kepergianmu, dia menjadi orang yang suka berdiam diri di kamar apalagi setelah kecelakan bulan lalu. Kakinya yang mesti diamputasi membuatnya tak bisa terima. Setiap harinya, mengurung diri di kamar, tak pernah kekampus lagi, tidak pernah keluar rumah, dan yang paling parah tidak mau berbicara dengan siapapun,” papar mamanya panjang lebar.

Cerita dari mama Erick membuatku melongo tak tahu mesti berbuat apa.

“Lin… apakah kamu masih di situ?” tanya mama Erick, karena dari tadi, aku diam tak menyahut sepatah katapun, karena tak percaya dengan semua cerita barusan yang kudengar.

“Ya..tante, masih…!” jawabku pendek ngak tahu mesti bagaimana.

“lin… tante benar-benar, minta tolong! Kamu berkenan untuk menjenguk Erick dan memberinya kekuatan untuk selalu bertahan menghadapi semua ini,” pintanya penuh harap.

“saya akan usahakan, tante!” jelasku tak brani memberi keputusan.

Setelah berpikir panjang lebar…dan tak sedetikpun pikiranku bisa lepas tentang Erick, akhirnya kuputuskan untuk pulang ke Taepei.

Setelah semua barang-barang kubereskan aku lansung menuju rumah Erick, yang disambut senyum hangat mamanya. Berbeda sekali dari pertama kali aku melihatnya.

Mamanya mengetuk pintu kamarnya. Tiada jawaban dari sana. Erick tak memberi respon sama sekali.

Akhirnya, kupanggil-pangil namanya, dia malah marah dan menyuruhku pergi.

“Aku tak akan pergi sebelum kamu membukakan pintu'” jelasku, sambil terus memanggilnya.

Hampir setengah jam aku terus dan terus mengedor pintu, akhirnya Erick mau membukakan pintu kamarnya. Mamanya membiarkan aku masuk.

Aku terkejut dengan perubahan Erick, rambutnya mulai gondrong berantakan, kumisnya ngak pernah dicukur, tatapan matanya begitu menyedihkan.

Tapi aku tak peduli dengan semua itu, lekas kupeluk dia erat-erat. Rindu yang tertumpuk di dalam hatiku ingin kutumpahkan semua dalam pelukan ini.

Dia melepaskan pelukanku. “Pergi sana, aku tak perlu kamu kasihani,” tukasnya begitu kasar.

“Erick, maafkan aku!” hanya itu yang bisa kuucapkan.

“Kamu kok tega meninggalkanku,” tanyanya begitu sinis.

“Erick, maafkanlah aku! Aku kira kepergianku …hanya untuk kebaikanmu. Ternyata aku salah!” ujarku benar-benar menyesal.

“Kamu tahu, betapa besar cintaku  padamu, begitu sakitnya merindukanmu tapi aku tak tahu sama sekali kabar tentang kamu,” paparnya dengan tatapan kosong.

“Aku berjanji tak akan melakukannya lagi, aku akan bersamamu apapun yang terjadi,” kugenggam tanganya untuk meyakinkannya.

“Tidak…aku tak butuh kamu lagi..aku benci kamu!,” tukasnya begitu marah.

“Erick, beri aku kesempatan, sekali ini saja!” pintaku.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Lalu mamanya menceritakan semuanya. Semua yang menjadi alasan aku pergi. Kulihat tatapan matanya agak berubah, dan kalimat yang keluarpun sudah tak sesinis tadi.

“Mama, kok begitu sih!” ujarnya lemas.

Walupun demikian dia pun tidak membenci mamanya. Dia tahu dan menyadari, mamanya hanya ingin yang terbaik buatnya, yang malah tanpa mamanya sadari telah menyayat-nyayat hatinya.

“Aku yakin apapun yang terjadi, jika kita hadapi bersama, tidak serumit apa yang kamu pikirkan,” paparku sambil menepuk-nepuk jari-jariku di bahunya

“kamu tahu, perpisahan itu yang membuat aku makin merasakan bahwa aku benar-benar mencitaimu,” ujarku malu-malu.

Yang disambut tawa bahagia kami bertiga.

Setelah beberapa bulan aku selalu menemani Erick, sekarang Erick sudah kembali seperti dulu. Dan dia bisa menerima usul kami semua untuk menggunakan kaki palsu.

Suatu hari, mamanya memintaku menjadi pendamping hidup Erick. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini, kuanggukan kepala, karena aku tak ingin terulang lagi penyesalan yang kedua kali dalam hidupku. Dan aku ingin bersama Erick selamanya. Dalam kondisi apapun.

“Bantu tante, menjaga Erick! Tante yakin cintamu akan mengembalikan Ericku yang dulu,” ujar mamanya sambil tersenyum.

“Oke, tante, akan kujaga dia baik-baik! ” hanya itu yang mampu aku janjikan pada wanita yang melahirkan Erick ini.

Cinta mampu mengubah segalanya. Cinta juga mampu menghancurkan sebuah hati yang kokoh. Cinta juga bisa menyembuhkan, memaafkan dan membahagiakan hati yang lara. Tergantung siapa pelakunya!

Taiwan, 07 September 2008